Oleh Muhammad Akhyar Adnan
Semua pihak tentu menyimak bahwa pada 18 Juli 2024 lalu tiba-tiba saja Presiden Joko Widodo mengangkat tiga Wakil Menteri baru, yakni Sudaryono sebagai Wakil Menteri Pertanian, Thomas A.M. Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan, dan Yuliot sebagai Wakil Menteri Investasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Seperti biasa, berbagai reaksi muncul, terutama dari mereka yang mempertanyakan urgensi pengangkatan tersebut walau umur Pemerintahan Jokowi bahkan tidak sampai seumur jagung lagi.
Namun Pemerintah tidak bergeming dengan dalih untuk menyiapkan peralihan, dan seperti biasa masyarakat lalu diam, tenang atau cuek seperti tiada suatu apapun yang terjadi. Apalagi begitu banyak isu kontroversial yang mengemuka, sehingga sebuah isu penting akan tenggelam dalam sekejap.
Bila dicermati nama-nama para [Wakil] Menteri baru, dan seperti juga diumumkan terbuka, bahwa mereka adalah Pengurus Gerindra, partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.
Di satu sisi, sebagian masyarakat coba memaklumi dan menganggap wajar, dan seolah-olah sudah lupa samasekali dengan isu nepotisme yang justru dulu menghancurkan “karir” mertua Prabowo: Pak Harto, sebagai Presiden masa itu.
Di sisi lain, masyarakat membahas tentang (a) nepotisme, karena mereka adalah kader Gerindra, bahkan salah seorang di antaranya adalah keponakan kandung Prabowo; (b) kapasitas mereka dalam perspektif ilmu dan pengalamannya sebelum ini.
Karena, bila dilihat latar belakang pendidikan mereka, berbeda dengan jabatan politik yang mereka emban dalam pos kementerian, walau, misalnya, mereka kuliah di Amerika Serikat. Gak matching, kata anak-anak Gen Z.
Diluar dua isu di atas, tulisan singkat ini akan menambahkan sebuah isu lagi, yang sejauh ini belum diangkat siapapun terkait perkembangan kebijakan selama ini.
Kita tentu masih ingat dengan pertanyaan Cawapres Gibran kepada Cawapres Cak Imin (Ahmad Muhaimin Iskandar) tentang GIEI dalam acara debat antar Cawapres tempo hari.
Ketika itu memang terkesan bahwa Cak Imin “kelabakan”. GIEI adalah singkatan dari Global Islamic Economy Indicator. Pertanyaan, kalau sebatas kepanjangan, tentu tidak bermutu untuk sebuah debat kenegaraan.
Namun, di sisi lain bagi penulis ketika itu terbersit sedikit harapan bahwa Cawapres ini masih punya ‘perhatian’ kepada pengembangan ekonomi Islam.
Namun, penunjukan Thomas Djiwandono sebagai Wamenkeu dan [mungkin] nanti akan menggantikan Sri Mulyani, membuat pertanyaan GIEI betul-betul sebatas gimmick yang dangkal, tidak bermutu, dan diangkat untuk sekedar mempermalukan Muhaimin Iskandar saja. Lho, kenapa demikian?
Mari kita analisis sedikit lebih jauh. Menkeu saat ini, Sri Mulyani seorang ekonom Muslimah, dan sudah pula diangkat sebagai Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sekaligus Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), keduanya di tingkat pusat atau nasional, tidak tampak banyak mengangkat sistem ekonomi Islam di tanah air.
Dua dekade dia mengelola ekonomi di Indonesia, tidak dapat menaikkan market share ekonomi Islam yang cenderung stabil rendah. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas (85 persen) penduduknya Muslim.
Sebaliknya, bisakah kita berharap kepada seorang Thomas Djiwandono, selain masyarakat sudah memasalahkan (a) kapasitas, (b) pendidikan, (c) pengalaman, dan (d) hubungan istimewa (baca: nepotisme)-nya dengan Prabowo akan melahirkan kebijakan yang mendukung kemajuan ekonomoi Islam?
Apalagi Thomas Djiwandono bukan seorang Muslim. Memang ke-Islam-an seseorang (seperti halnya Sri Mulyani) tidak menjamin bahwa yang bersangkutan tidak atau pro dengan ekonomi Islam.
Tetapi keyakinan yang dianut Djiwandono membuat kita terlalu sulit untuk berharap bahwa akan lahir kebijakan-kebijakan ekonomi nasional yang bernafaskan Islam dalam bentuk substansif.
Dalam periode kedua Jokowi ini, rasanya masih ada sedikit hiburan bahwa Wapres Ma’ruf Amin, selain bergelar ‘Kyai’, juga mempunyai perhatian cukup besar kepada ekonomi Islam, walau masih lebih terkesan dalam bentuk seremonial saja.
Nah, apa yang nanti bisa diharapkan dari Wapres yang, ternyata di ruang kerjanya sangat banyak mainan, dan mengindikasikan kualitas sebenarnya siapa dia?
Jadi, pantaskah kita pesimistis dengan prospek ekonomi Islam di masa depan dengan kualitas Menteri Keuangan seperti itu, dan kaliber Wapres yang memang jauh panggang dari api? Semoga saja dalam hal ini saya salah.
Waalahu a’lam bisshowab.
*Muhammad Akhyar Adnan PhD., MBA., SE., Ak., CA., CRP., CIB., adalah Dosen Program Studi (Prodi) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.