Oleh : Uten Sutendy (Penulis, Pengamat Politik, dan Budayawan Banten)
SETIDAKNYA ada empat faktor yang membuat pribadi Airin Rachmi Diany selalu menarik perhatian dan begitu populer di mata publik Provinsi Banten bahkan nasional.
Pertama, ia adalah seorang perempuan cantik dengan kepribadian yang anggun. Mojang Parahiangan (tahun 1995) dan Putri Indonesia Favorit (tahun 1996) itu memang memiliki pesona tersendiri. Kecantikannya membuat seorang pria dari keluarga pengusaha kaya yaitu Tb Chaery Wardhana (Wawan) terpikat untuk mempersuntingnya menjadi isteri saat mereka sama-sama tinggal di Kota Kembang Bandung.
Kelembutan tutur kata Airin dengan balutan senyuman indah di bibir membuat banyak orang selalu terpesona tiap kali ia tampil di ruang publik.
Kedua, ia adalah seorang isteri yang setia. Ketika sang suami terkena kasus hukum dan mendapat pemberitaan negatif di banyak media, Airin tetap setia mendampingi sang suami, membela dan memberi semangat. Berani tampil di muka publik dengan wajah ceria, samasekali tak menunjukkan sikap kecewa atau frustasi seolah tak terjadi apapun. Kasih sayang dan cintanya pada sang suami tak berkurang meskipun publik menghujat.
Ketiga, ia sebagai seorang ibu rumah tangga yang tangguh. Di tengah gelombang gempuran hujatan ia tetap menjalankan tugas mulia sebagai seorang ibu rumah tangga. Menjaga anak-anak dengan penuh kasih sambil terus memberi semangat dan kepercayaan diri kepada semua putra putrinya hingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang bisa lolos ujian di sekolah dan universitas maupun lolos pula dari ujian pergaulan hidup sosial yang menekan.
Keempat, dalam tekanan sosial dan tentu saja tekanan psikologi, Airin masih bisa terus bekerja keras menjalankan tugas sebagai pejabat publik sebagai Walikota Tangerang Selatan. Rutin masuk kantor, memimpin rapat, melakukan kunjungan kerja ke daerah, menemui warga kota dengan sapaan senyum indah seolah tak terjadi apa-apa pada diri dan keluarga.
Airin bukan sekedar mampu memainkan keempat peran di atas dengan sangat baik tetapi juga ia mampu mengkapitalisasi problema sosial -politik yang dialami diri dan keluarga. Ibarat pompa air, semakin ditekan semakin banyak air yang keluar. Tekanan demi tekanan yang dialami justru membuat pribadinya tumbuh semakin kuat, semakin bersinar.
Tingkat kepercayaan dan simpati publik kepadanya pun makin besar yang mengantarkannya berhasil memimpin Kota Tangsel selama dua periode (dari 20 April tahun 2011 sampai 20 April tahun 2021). Di bawah kepemimpinannya, Tangsel memperoleh sejumlah prestasi bergengsi baik bagi pribadinya sebagai walikota maupun bagi institusi Pemerintah Kota Tangsel. Warga Tangsel begitu mencintainya terutama kaum perempuan hingga muncul ungkapan jika Airin ikut pemilihan walikota yang ketiga kali pasti menang lagi.
Ketika pasangan Benyamin-Pilar dalam Pilkot yang digelar tahun 2021 meraih kemenangan dan kemudian tampil sebagai walikota dan wakil walikota Tangsel, juga disebut-sebut karena ada faktor pengaruh dan konstribusi besar dari Airin.
Modal sosial- politik dan posisioningnya makin kuat dan besar di dalam konstalasi politik Banten dan nasional. Sampai hari ini ia masih menjabat sebagai ketua DPD Partai Golkar Kota Tangerang Selatan.
Secara intelektual ia juga mumpuni. Menyandang gelar doktor di bidang hukum (Dr. Hj. Airin Rachmi Diany SH, MH) dan seorang notaris yang sukses.
Ditambah lagi dengan dukungan politik dari masyarakat Tangsel dan dari anggota dinasti politik Banten yang kaya dengan sumber daya finansial dan jaringan sosial yang merambah hampir ke semua lini kehidupan di provinsi Banten.
Itulah yang membuat Airin terus tumbuh sebagai politisi yang sangat percaya diri untuk terus melangkah. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PP KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar periode 2019-2024) dan menang di Pileg DPR RI dengan perolehan suara terbanyak.
Nah, oleh karena itu, dalam posisi Airin seperti itu siapa yang bisa meragukan beliau untuk maju menjadi Gubernur Banten? Hampir tidak ada.
Hasil survei 15-20 Juni yang dilakukan Litbang Kompas, Airin memperolehi angka di atas 38,3 persen, unggul dari semua calon gubernur yang sudah muncul di ruang publik. Wahidin Halim (18,1 persen), Rano Karno (16,5 persen), keduanya mantan gubernur Banten, perolehan suaranya malah jauh berada di bawah, baik suara perolehan saat Pileg maupun hasil survey elektabilitas cagub.
“Belum ada lawan setimpal bagi Airin untuk terus melaju menjadi Gubernur Banten,” kata salah seorang Timses Airin yang beredar di medsos.
Ketika Prabowo Subianto sebagai ketua Partai Gerindra menawarkan agar Airin bersedia maju jadi calon gubernur berdampingan dengan Andrasoni, kader politik dari Gerindra yang masih menjabat Ketua DPRD Provinsi Banten, Airin menolak dengan alasan sudah mempunyai calon wakilnya sendiri.
Sikap percaya diri dan penolakan itu rupanya berbuntut panjang. Tujuh partai peserta Pilgub Banten yang berada di bawah hegemoni Koalisi Indonesia Maju (KIM) yaitu partai PKB, Demokrat, PSI,PKS,PPP, PAN, Nasdem, ramai-ramai meninggalkan Airin. Mereka bergabung bersama Gerindra yang mengusung pasangan cagub dan cawagub Andrasoni-Dimyati. Airin ditinggal sendirian bersama Golkar yang hingga kini belum menpunyai mitra koalisi setelah PDIP bersikap tarik-ulur dalam menyodorkan kadernya untuk cagub Banten.
Apa sesungguhnya yang membuat Airin bisa dikepung rame-rame secara politik?
Selain karena sikap percaya diri tadi setidaknyanya ada dua faktor yang kemungkinan besar ikut mempengaruhi kondisi di atas. Pertama, ada kecenderungan tumbuh semangat baru di kalangan elite Banten, semangat untuk keluar dari lingkaran politik dinasti dan Airin dianggap bagian dari anggota dinasti politik Banten (meskipun ada yang bilang darah Bantennya kurang kental).
Alasannya, selama dinasti politik masih berkuasa maka dianggap selama itu pula sulit bagi kader- kader politik di luar dinasti untuk bisa tampil lebih leluasa menjadi calon gubernur, bupati, dan walikota di seluruh wilayah Banten. Kecenderungan dan semangat untuk memotong akar politik dinasti memang cukup kuat belakangan ini terutama di kalangan elite dan kaum terpelajar.
Kedua, kini sedang tumbuh mindset politik baru bahwa Pilgub Banten haruslah bisa melahirkan pemimpin bukan melahirkan penguasa. Stigma yang dialamatkan kepada dinasti politik Banten selama ini adalah sebagai kelompok keluarga yang produktif melahirkan penguasa wilayah tapi kurang produktif memproduksi pemimpin.
Dalam konsep kepemimpinan politik di Banten ada adagium yang berlaku dan itu mutlak harus ditaati oleh siapapun yang ingin sukses menjadi pemimpin di Banten.
Pertama, seorang pemimpin harus merangkul dan memiliki nilai serta sifat keulamaan (berilmu tinggi dan berahlak mulia) yang dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, bisa merangkul dan menghargai nilai kearifan kasepuhan, kelompok adat yang konsisten menjaga dan memelihara serta melestarikan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan dan alam.
Ketiga, merangkul dan menjungjung tinggi nilai-nilai kejawaraan, bersikap gigih, kuat, dan berani dalam membela kebenaran serta melindungi yang lemah.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Satu saja dilupakan atau tak diindahkan sangat berbahaya, akan sulit meraih sukses sebagaimana dialami oleh gubernur dan para elite Banten sebelumnya.
Pertanyaannya, apakah Airin termasuk figur politisi penguasa? Apakah Airin belum mengindahkan adagium di atas sehingga harus menerima “hukuman” dikepung? Sebuah pertanyaan serius yang perlu kajian lebih dalam.
Yang sekarang menjadi fokus perhatian masyarakat Banten terutama di kalangan konstituen politik adalah, apakah Airin bisa lolos dari kepungan politik Koalisi Indonesia Maju dan maju melanggeng dalam Pilgub Banten?!
Kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti !